Istishab
Ditinjau Dari Segi Bahasa Arab
Istishab ditinjau dari segi bahasa Arab adalah mengakui adanya hubungan. Sedangkan
menurut istilah ulama’ ahli ushul fiqh ialah mengambil hokum
yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga
masa-masa selanjutnya, sebelum ada hokum yang mengubahnya. Misalnya seseorang
ragu-ragu, apakah sudah wudlu’ atau belum? Dalam keadaan seperti ini, ketentuan
harusnya berpedang kepada “belum wudlu’” karena hokum asal adalah belum wudlu.
Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
Islam
Para ulama’ berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishab:
1.
menjadikan Istishab sebagai pegangan
dalam menentukan hokum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam
Al-Qur’an As-Sunnah maupun Ijma’. Ulama’ yang termasuk kelompok ini ialah
Syafi’iyyah, Hanabilah, Malikiyyah, Dhahiriyyah dan sebagian
kecil Ulama’ Hanafiyah dan Ulama’ Syi’ah. Dalil yang mereka
jadikan alasan antara lain sebagai berikut:
انّ
الظّن لا يغنى من الحقّ شيأ انّ الله عليم بما يفعلون
“Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka kerjakan”. (QS.
Yunus: 36).
Berdasarkan Qaidah prinsip di atas,
ulama’ ushul fiqh menetapkan qaidah-qaidah fiqh sebagai berikut:
الاصل
بقاء ما كان على ما كان
“Pada dasarnya yang dijadikan dasar
adalah sesuatu yang jadi sebelumnya”.
Kedua: Asal hokum sesuatu adalah
hilang, sampai ada dalil yang mengharuskan meninggalkan hokum tersebut
الاصل
فى الأشياء الاباحة
“Asal Hukum sesuatu adalah boleh”.
2.
menolak Istishab sebagai pegangan
dalam menetapkan hokum. Ulama’ golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama’
Hanafiyah. Mereka menyatakan bahwa istishab dengan pengertian seperti di atas
adalah tanpa dasar, dengan kata lain istishab itu menjadi hujjah untuk
menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat hukum yang timbul
dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai
hujjah untuk menetapkan perkarra yang belum tetap hukumnya.
0 komentar:
Posting Komentar